Rusia Inginkan Perjanjian Damai Jangka Panjang Dengan Ukraina Rusia menegaskan keinginannya untuk mencapai kesepakatan damai jangka panjang terkait konflik yang sedang berlangsung di Ukraina. Kesepakatan ini diharapkan mampu menangani akar permasalahan yang dianggap Moskwa sebagai penyebab utama konflik, bukan sekadar gencatan senjata sementara yang didukung oleh Amerika Serikat, yang dapat berujung pada kembali pecahnya pertempuran dalam waktu dekat.
Wakil Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Ryabkov, menyampaikan hal tersebut dalam wawancara dengan kantor berita Rusia, RIA, yang dirilis pada Senin (24/2/2025). Pernyataan ini bertepatan dengan peringatan tiga tahun sejak puluhan ribu tentara Rusia memasuki wilayah Ukraina atas perintah Presiden Vladimir Putin.
Dalam wawancara tersebut, Ryabkov menegaskan bahwa Rusia menghendaki sebuah kesepakatan damai yang berkelanjutan dan bukan hanya sekadar gencatan senjata yang bersifat sementara.
Rusia Inginkan Perjanjian Damai Jangka Panjang
“Kami dapat dengan jelas melihat bahwa pihak Amerika memiliki keinginan untuk segera mencapai gencatan senjata,” ujar Ryabkov, sebagaimana dikutip oleh RIA.
“Namun, sebuah gencatan senjata yang tidak disertai dengan solusi jangka panjang hanya akan membuka peluang bagi konflik untuk kembali terjadi, dengan dampak yang lebih luas, termasuk terhadap hubungan antara Rusia dan Amerika Serikat. Hal itu bukanlah sesuatu yang kami inginkan.”
Lebih lanjut, Ryabkov menegaskan bahwa solusi jangka panjang harus mencakup elemen-elemen yang mampu mengatasi akar penyebab konflik di Ukraina serta kawasan sekitarnya.
Menurut Ryabkov, pertemuan yang berlangsung antara Rusia dan Amerika Serikat di Riyadh pekan lalu—yang menurut Moskwa bertujuan untuk memulihkan hubungan bilateral serta merancang kerangka perundingan terkait Ukraina—tidak menghasilkan kejelasan lebih lanjut mengenai rencana perdamaian diusung Presiden Amerika Serikat, Donald Trump.
Ryabkov juga kembali menegaskan bahwa Rusia tidak memiliki pilihan lain selain meluncurkan apa yang mereka sebut sebagai “operasi militer khusus” di Ukraina. Langkah ini, menurutnya, merupakan respons terhadap ekspansi NATO ke arah timur yang dianggap tidak terkendali.
Sementara itu, Ukraina dan negara-negara Barat menilai tindakan Rusia tersebut sebagai bentuk perang agresi yang bertujuan untuk memperluas wilayah kekuasaannya dengan cara kolonialisme modern.
Ryabkov juga menyoroti apa yang disebutnya sebagai pelanggaran terhadap hak-hak penduduk berbahasa Rusia di Ukraina. Namun, tuduhan tersebut telah dibantah oleh pemerintah Kyiv, yang menyatakan bahwa perlindungan hak-hak warga negaranya tetap menjadi prioritas utama.
Konflik antara Rusia dan Ukraina telah berlangsung selama tiga tahun dan hingga saat ini belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Kedua belah pihak masih terus berupaya mencari solusi diplomatik di tengah situasi yang semakin kompleks dengan melibatkan berbagai aktor internasional.
Bukan Gencatan Senjata Cepat Versi AS
Dalam berbagai kesempatan, Moskwa menekankan bahwa penyelesaian konflik ini tidak dapat dilakukan tanpa mempertimbangkan kepentingan strategisnya di kawasan. Rusia juga mendesak agar setiap perundingan yang dilakukan tidak hanya sekadar bertujuan menghentikan perang, tetapi juga mengakomodasi kepentingan jangka panjang yang dapat menciptakan stabilitas yang berkelanjutan.
Di sisi lain, Ukraina dan sekutu Baratnya bersikeras bahwa setiap perundingan damai harus berlandaskan pada prinsip kedaulatan dan keutuhan wilayah Ukraina. Mereka menuntut agar Rusia menarik pasukannya dari wilayah yang diduduki dan menghormati perbatasan yang diakui secara internasional.