China Tuduh Pete Hegseth Tebar Perpecahan Di Asia Lewat Pidato

China Tuduh Pete Hegseth

China Tuduh Pete Hegseth Tebar Perpecahan Di Asia Lewat Pidato sebagai pihak yang mencoba menciptakan perpecahan di kawasan Asia Pasifik Tuduhan tersebut disampaikan menyusul pidato Hegseth dalam forum pertahanan internasional Shangri-La Dialogue yang berlangsung di Singapura pada akhir pekan lalu.

Dalam pidatonya yang menuai perhatian luas pada Sabtu (31/5/2025), Hegseth menyebut Tiongkok sebagai ancaman nyata bagi stabilitas kawasan Indo-Pasifik. Ia menyatakan bahwa negara yang dipimpin oleh Presiden Xi Jinping tersebut kini “secara kredibel tengah mempersiapkan penggunaan kekuatan militer” guna mengubah keseimbangan kekuatan di kawasan.

Bahkan, Hegseth menuding bahwa Tiongkok telah melakukan latihan militer secara aktif yang bertujuan untuk kemungkinan invasi terhadap Taiwan.

“Tidak ada manfaatnya menutup-nutupi. Ancaman yang ditimbulkan oleh Tiongkok bukanlah fiksi, tetapi nyata dan bisa saja terjadi dalam waktu dekat,” ujar Hegseth dalam pidatonya. Ia juga mendorong negara-negara di kawasan Asia untuk meningkatkan anggaran pertahanan nasional mereka guna menghadapi kemungkinan eskalasi.

China Tuduh Pete Hegseth Tebar Perpecahan

Pete Hegseth

Pernyataan Hegseth tersebut segera mengundang reaksi keras dari Kementerian Luar Negeri Tiongkok. Dalam pernyataan resminya yang dirilis pada Minggu (1/6/2025), Beijing menyebut pidato tersebut sebagai bentuk provokasi terbuka dan mengandung muatan politik yang bertujuan memecah belah solidaritas negara-negara di kawasan Asia Pasifik.

“Pete Hegseth secara terang-terangan mengabaikan aspirasi negara-negara Asia yang menginginkan perdamaian dan pembangunan berkelanjutan. Alih-alih membangun dialog, ia justru menyuarakan retorika era Perang Dingin serta memperbesar potensi konfrontasi antarblok,” demikian bunyi pernyataan resmi Kementerian Luar Negeri Tiongkok.

Tiongkok juga menuduh bahwa pidato tersebut merupakan upaya penyebaran informasi yang menyesatkan, dan secara tidak berdasar menyematkan label ancaman terhadap Beijing. Pemerintah Tiongkok menilai bahwa narasi yang disampaikan Hegseth merupakan bentuk intervensi politik yang dapat mengganggu ketertiban dan stabilitas regional.

Dalam dokumen pernyataan yang sama, Kementerian Luar Negeri Tiongkok bahkan balik menuding bahwa Amerika Serikat adalah aktor utama yang kerap mengganggu kedamaian di kawasan Asia Pasifik. Negara adidaya tersebut disebut sebagai pihak yang secara konsisten memaksakan agenda hegemonik di berbagai belahan dunia, termasuk di Asia.

“Jika ada satu negara yang patut disebut sebagai kekuatan hegemonik yang mengganggu stabilitas, maka itu adalah Amerika Serikat. Campur tangan militer dan tekanan politik yang dilakukan oleh Washington di berbagai kawasan telah menciptakan ketegangan yang tidak perlu,” tulis pernyataan tersebut.

Tiongkok juga menyampaikan peringatan keras terhadap Hegseth terkait isu Taiwan, yang dianggap sebagai bagian tidak terpisahkan dari wilayah kedaulatan Republik Rakyat Tiongkok. Dalam perspektif resmi Beijing, pemerintahan di Taipei merupakan entitas separatis yang menjalankan kekuasaan secara ilegal, dan setiap upaya yang mendorong kemerdekaan Taiwan dinilai sebagai pelanggaran serius terhadap prinsip “Satu Tiongkok.”

Perspektif Taiwan dan Sikap Warga

“Isu Taiwan adalah garis merah yang tidak dapat dinegosiasikan. Siapa pun yang mencoba memainkan isu ini akan menghadapi konsekuensi serius,” ujar juru bicara kementerian tersebut.

Menhan AS Serukan Asia Tingkatkan Anggaran Militer Hadapi Ancaman dari China - Global Liputan6.com

Sementara itu, Pemerintah Taiwan yang dipimpin oleh pemerintahan terpilih secara demokratis di bawah Presiden Lai Ching-te tetap teguh menolak klaim Tiongkok atas wilayahnya. Dalam beberapa kesempatan, para pemimpin Taiwan menegaskan bahwa mereka bukan bagian dari Republik Rakyat Tiongkok dan memiliki pemerintahan serta sistem politik yang sah secara internasional.

Sebagian besar masyarakat Taiwan pun diketahui menolak gagasan penyatuan dengan Tiongkok daratan di bawah kendali Partai Komunis. Survei yang dilakukan lembaga-lembaga independen menunjukkan bahwa mayoritas warga Taiwan lebih memilih mempertahankan status quo ketimbang menerima integrasi secara paksa dengan Beijing.

Merespons ketegangan diplomatik yang dipicu oleh pidato Hegseth, Menteri Pertahanan Australia, Richard Marles, turut memberikan pandangannya. Dalam konferensi pers yang berlangsung di sela-sela pertemuan tersebut, Marles mengungkapkan bahwa perkembangan militer Tiongkok dalam beberapa tahun terakhir patut dicermati secara serius oleh seluruh negara di kawasan.

Menurut Marles, Tiongkok saat ini tengah membangun kekuatan militer konvensional terbesar sejak berakhirnya Perang Dunia II. Ia menyebut bahwa hal tersebut menimbulkan tantangan strategis yang kompleks, baik bagi Australia maupun negara-negara lain di kawasan Indo-Pasifik.

“Kita tidak bisa menutup mata terhadap kenyataan bahwa Tiongkok terus memperluas kekuatan militernya secara signifikan. Ini menciptakan dinamika baru yang perlu disikapi dengan strategi kolektif berbasis kerja sama dan penegakan aturan hukum internasional,” ujar Marles.

Baca Juga : Pamit dengan Mata Lebam Elon Musk Bantah Pakai Narkoba

Dalam pernyataannya, Marles juga menegaskan bahwa Australia tetap berkomitmen untuk menjaga tatanan internasional yang berbasis aturan hukum, termasuk menjunjung tinggi prinsip kebebasan navigasi sesuai dengan ketentuan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS).

Meskipun Amerika Serikat sendiri bukan negara peserta dalam konvensi tersebut, Australia menyatakan bahwa kerja sama strategis dengan mitra regional seperti Filipina dan Amerika Serikat akan terus dilanjutkan guna memastikan bahwa jalur-jalur laut utama di Asia tetap bebas dilalui dan aman dari ancaman militerisasi.

By Admin

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

saya bukan robot *Time limit exceeded. Please complete the captcha once again.