Logika Elite Tak Waras: Menciptakan Kedamaian Melalui Perang
Dalam banyak narasi politik internasional, terutama yang berasal dari kalangan elite global dan negara-negara adidaya,
sering kali kita mendengar pernyataan-pernyataan kontradiktif seperti “intervensi militer demi menciptakan stabilitas” atau “operasi bersenjata untuk mewujudkan perdamaian.” Ungkapan semacam ini tampak seperti sebuah paradoks, bahkan bagi masyarakat awam: bagaimana mungkin perdamaian dicapai melalui kekerasan dan perang?
Logika seperti ini kerap digunakan untuk membenarkan agresi militer, penempatan pasukan
asing di negara berdaulat, serta pemboman terhadap wilayah-wilayah yang dinilai “mengancam stabilitas regional.
Dalam skema geopolitik semacam ini, perang bukan lagi dianggap sebagai kegagalan diplomasi, tetapi justru alat untuk mencapai tujuan strategis dengan mengorbankan nyawa dan kemanusiaan.
Retorika Elite Global dan Pembenaran Moral
Elite politik dan militer sering membungkus tindakan destruktif mereka dengan lapisan moralitas.
Kata-kata seperti “membebaskan rakyat,” “mengembalikan demokrasi,” atau “menanggapi ancaman teroris” digunakan untuk mendapatkan legitimasi internasional dan dukungan domestik. Padahal, di balik retorika tersebut, sering tersembunyi kepentingan ekonomi, penguasaan sumber daya alam, dan dominasi politik global.
Kasus invasi Irak tahun 2003 oleh Amerika Serikat dan sekutunya adalah contoh nyata. Dengan alasan mencari senjata pemusnah massal (WMD) yang tidak pernah terbukti keberadaannya, ratusan ribu warga sipil menjadi korban, dan negara tersebut hingga kini belum benar-benar stabil. Perdamaian yang dijanjikan ternyata berujung pada perang saudara berkepanjangan dan kehancuran infrastruktur nasional.

Kerusakan yang Ditinggalkan Atas Nama “Kebaikan”
Dampak dari perang yang dilakukan atas nama perdamaian sering kali justru memperburuk situasi kemanusiaan. Selain korban jiwa, perang membawa dampak jangka panjang seperti:
-
Pengungsian massal dan krisis migran.
-
Runtuhnya sistem kesehatan dan pendidikan.
-
Hancurnya ekonomi lokal dan kemiskinan struktural.
-
Radikalisasi dan lahirnya kelompok ekstremis baru.
Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa pendekatan kekerasan sebagai solusi konflik justru menciptakan siklus
kekerasan yang tak kunjung berakhir. Ironisnya, elite global jarang menjadi pihak yang menanggung
langsung dampak tersebut. Yang menderita adalah rakyat kecil, anak-anak, perempuan, dan komunitas sipil yang tidak terlibat dalam konflik politik.
Logika Tak Waras dalam Kebijakan Militer
Mengklaim bahwa perang bisa membawa perdamaian adalah bentuk logika yang cacat.
Ini adalah contoh dari “doublethink”, konsep dalam novel distopia 1984 karya George Orwell, di mana dua ide yang saling bertentangan diyakini benar dalam waktu yang bersamaan. Dengan kata lain, elite politik memaksakan kepercayaan bahwa membunuh bisa berarti menyelamatkan.
Dalam sistem internasional yang semakin kompleks, pendekatan seperti ini tidak hanya tidak efektif, tetapi juga berbahaya bagi tatanan dunia yang adil dan manusiawi. Negara-negara kuat yang terus memainkan peran polisi dunia tanpa mandat sah dari komunitas internasional menciptakan preseden buruk bagi hukum internasional.
Solusi: Diplomasi, Dialog, dan Keadilan Sosial
Jika benar perdamaian adalah tujuannya, maka solusinya bukan perang, melainkan diplomasi yang tulus, dialog
antarbudaya, dan peningkatan keadilan sosial global. Perang hanya akan menjadi pilihan jika semua
cara damai sudah diupayakan, dan bahkan dalam kondisi itu pun, respons militer harus dibatasi dan dikontrol ketat agar tidak melebihi mandat kemanusiaan.
Peran organisasi internasional seperti PBB, lembaga kemanusiaan, serta komunitas sipil global menjadi
sangat penting dalam mendorong resolusi damai terhadap konflik. Dunia membutuhkan lebih banyak negosiator, bukan jenderal; lebih banyak pembangunan, bukan penghancuran.
Baca juga:Trump Murka ke Israel soal Gencatan Senjata, Larang Bombardir Iran
Penutup
Menciptakan perdamaian melalui perang adalah logika elite yang sesat dan berbahaya.
Sejarah menunjukkan bahwa kekerasan hanya melahirkan kekerasan baru. Jika dunia sungguh-sungguh menginginkan
perdamaian, maka sudah saatnya meninggalkan retorika kosong dan mulai membangun sistem yang lebih adil, damai, dan berlandaskan nilai-nilai kemanusiaan universal.