Pengakuan Mantan Tahanan Palestina Kekejaman Penjara Israel Penyiksaan terhadap tahanan Palestina di penjara-penjara Israel terus menjadi sorotan. Berbagai laporan mengungkapkan praktik penyiksaan yang tidak mengenal batas usia, termasuk terhadap mereka yang sedang dalam kondisi sakit.
Sejak kesepakatan gencatan senjata tahap pertama antara Hamas dan Israel berlaku pada 19 Januari 2025, ribuan tahanan Palestina telah dibebaskan. Setelah bebas, mereka mulai mengungkap berbagai kesaksian mengerikan tentang perlakuan yang mereka alami di dalam tahanan.
Salah satu laporan menyebutkan bahwa tahanan Palestina mengalami penyiksaan ekstrem, seperti dibungkus dengan kain kafan dan dikubur hidup-hidup. Mereka dibiarkan hampir kehabisan napas sebelum akhirnya diberikan sedikit udara, hanya untuk mengulang proses penyiksaan tersebut beberapa saat kemudian.
Pengakuan Mantan Tahanan Palestina Kekerasan Israel
Mahmoud Ismail Abukhater (41), seorang warga Gaza Utara, mengisahkan pengalamannya ketika ia ditangkap oleh pasukan Israel pada 20 Oktober 2024. Saat itu, ia sedang berada di Rumah Sakit Kamal Adwan ketika drone militer Israel melayang di atasnya, menyiarkan pesan agar warga sekitar menyerah.
“Mereka menembaki rumah-rumah dan balkon, mengebom bangunan, dan mengeluarkan perintah melalui pengeras suara untuk menimbulkan teror. Saat itulah kami ditangkap,” kenangnya seperti dikutip dari Middle East Eye, Rabu (12/3/2025).
Menurut Abukhater, penyiksaan dimulai sejak mereka ditahan dan berlangsung hingga saat-saat terakhir sebelum pembebasannya. “Kami diperlakukan bukan sebagai manusia, tetapi lebih buruk dari binatang,” ungkapnya.
Kondisi Tidak Manusiawi di Kamp Tahanan
Sebelum dipindahkan ke penjara, para tahanan dibawa ke lokasi di Gaza yang menyerupai peternakan hewan. Di tempat itu, mereka dipaksa bertahan dalam cuaca dingin hanya dengan mengenakan pakaian tipis berwarna putih dan celana dalam.
“Tangan dan kaki kami dibelenggu. Mereka memukul kami dengan botol air beku serta botol berisi zaitun. Bahkan, para tentara buang air kecil dalam wadah lalu menuangkannya ke wajah dan tubuh kami,” ujarnya.
Setelah itu, Abukhater dipindahkan ke kamp tahanan militer Sde Teiman yang terkenal dengan kebrutalannya. Di sana, ia diborgol selama hampir dua bulan.
“Sde Teiman bukan penjara biasa, tetapi tempat penyiksaan bagi para tahanan laki-laki,” tuturnya.
“Kami dipaksa duduk diam dari pagi hingga tengah malam. Pergi ke toilet pun harus meminta izin, dengan borgol masih terpasang. Kadang mereka mengizinkan, kadang tidak, sehingga banyak tahanan yang akhirnya terpaksa buang air di tempat.”
Pihak penjara juga dengan sengaja membatasi kebersihan tahanan, tetapi pada saat yang sama, mereka dipaksa mandi dengan air dingin setiap dua hari sekali di tengah suhu musim dingin yang menusuk.
Salah satu metode penyiksaan paling kejam di Sde Teiman adalah simulasi penguburan hidup-hidup. “Mereka memasukkan tahanan ke dalam kain kafan yang terhubung dengan selang kecil dan kamera, lalu menguburnya di dalam tanah. Melalui kamera itu, mereka memantau saat tahanan mulai kehabisan napas dan merasa akan mati. Saat hampir pingsan, mereka memberikan sedikit udara untuk membuatnya tetap hidup, hanya agar penyiksaan dapat diulang kembali,” jelas Abukhater.
Kasus Penyiksaan Berujung Kematian
Abukhater menyaksikan langsung bagaimana Musaab Haniyeh, keponakan mantan pemimpin Hamas Ismail Haniyeh, disiksa hingga tewas di Penjara Ofer pada Januari lalu. Menurutnya, Musaab mengalami luka parah akibat penyiksaan brutal, terutama di bagian kakinya, namun tidak mendapatkan perawatan medis.
“Lukanya semakin parah hingga belatung muncul di tubuhnya dan dia kehilangan kendali atas kandung kemihnya. Kami mendengar tentara berbicara bahwa Musaab telah meninggal. Dari balik jeruji, kami melihat tubuhnya dibungkus kain kafan dan dibawa pergi,” kenang Abukhater.
Ia juga menyebut bahwa sebelum ditahan, berat badan Musaab sekitar 120 kilogram. Namun, ketika ia meninggal, beratnya hanya sekitar 50 kilogram akibat kondisi yang memburuk di dalam penjara.
Manipulasi Sebelum Pembebasan
Sebelum dibebaskan dalam pertukaran tahanan antara Hamas dan Israel, Abukhater dipindahkan ke Penjara Negev. Pada saat itu, ia dan tahanan lain tidak menyadari bahwa mereka akan segera dibebaskan. Namun, mereka mulai curiga ketika, secara tiba-tiba, pihak penjara mulai memberikan makanan yang lebih layak dibandingkan sebelumnya.
“Mereka mulai memberi kami makanan matang dan keju, sesuatu yang belum pernah kami dapatkan sebelumnya,” katanya.
Pada pagi hari menjelang pembebasan, petugas penjara memaksa para tahanan mengenakan kaus dengan tulisan “We will never forget, and we will never forgive” beserta lambang Bintang Daud dan emblem tentara Israel.
“Awalnya kami menolak, tapi mereka mengancam bahwa siapa yang tidak mengenakannya tidak akan dibebaskan. Akhirnya, kami memakai kaus itu. Begitu tiba di Gaza, kami segera melepas dan membakarnya,” ungkap Abukhater.
Baca Juga : Israel Tunda Pembebasan Sandera Palestina Tanpa Alasan Jelas