Trump Ancam Bom Iran Jika Tidak Mencapai Kesepakatan Nuklir melontarkan pernyataan tegas terkait program nuklir Iran. Dalam pernyataannya pada Minggu (30/3/2025), Trump mengancam akan melakukan pengeboman dan menerapkan tarif sekunder jika Iran tidak mencapai kesepakatan terkait program nuklirnya. Pernyataan ini muncul menyusul keputusan Iran yang menolak melakukan negosiasi langsung dengan AS pada pekan lalu.
Berbicara dalam sebuah wawancara eksklusif dengan NBC News, Trump mengonfirmasi bahwa meskipun ada penolakan dari Iran, komunikasi tidak langsung antara pejabat AS dan Iran masih berlangsung. Namun, Trump tidak merinci lebih jauh mengenai isi pembicaraan tersebut.
“Jika mereka tidak mencapai kesepakatan, akan ada tindakan pengeboman yang belum pernah mereka saksikan sebelumnya,” ujar Trump dalam wawancara via telepon, seperti dilaporkan oleh CNA. “Selain itu, jika tidak ada kesepakatan, saya juga mempertimbangkan untuk menerapkan tarif sekunder terhadap mereka, seperti yang pernah dilakukan empat tahun lalu,” lanjutnya.
Trump Ancam Bom Iran Kesepakatan Nuklir
Ancaman Trump ini merupakan tanggapan atas sikap Iran yang tetap bertahan dengan posisinya. Menteri Luar Negeri Iran sebelumnya menyatakan pada Kamis (27/3) bahwa pihaknya telah merespons surat yang dikirim oleh Trump melalui Oman. Surat tersebut berisi tawaran untuk melakukan negosiasi baru terkait kesepakatan nuklir. Meskipun demikian, Iran dengan tegas menolak melakukan perundingan langsung selama ancaman militer dan tekanan ekonomi dari AS masih berlangsung.
Presiden Iran, Masoud Pezeshkian, pada Minggu (30/3), kembali menegaskan kebijakan negaranya. Ia menyatakan bahwa negosiasi langsung dengan AS tidak mungkin dilakukan. Namun demikian, Iran tetap membuka diri terhadap pembicaraan tidak langsung, sebagaimana ditegaskan oleh Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatullah Ali Khamenei.
“Negosiasi langsung dengan Amerika Serikat tidak dapat diterima. Namun, negosiasi tidak langsung masih dapat dilanjutkan dalam konteks tertentu,” ujar Pezeshkian, menegaskan posisi pemerintah Iran.
Trump juga menyampaikan ancaman lain dalam wawancara tersebut. Ia menyebut bahwa tidak hanya Iran yang akan menghadapi tarif sekunder, tetapi juga Rusia. Pekan sebelumnya, Trump telah menandatangani perintah eksekutif yang memungkinkan penerapan tarif sekunder terhadap negara atau entitas yang membeli minyak dari Venezuela. Namun, Trump tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai rencana spesifik untuk Iran dan Rusia.
Pada masa jabatan pertamanya sebagai Presiden (2017–2021), Trump telah mengambil langkah kontroversial dengan menarik AS dari kesepakatan nuklir 2015. Kesepakatan tersebut sebelumnya mengatur pembatasan ketat terhadap aktivitas nuklir Iran sebagai imbalan atas pencabutan sanksi ekonomi. Setelah keluar dari perjanjian tersebut, AS kembali menerapkan sanksi luas terhadap Iran, yang secara langsung mempengaruhi ekonomi negara itu.
Sejak keluarnya AS dari perjanjian nuklir, Iran dilaporkan telah melampaui batas-batas pengayaan uranium yang sebelumnya disepakati. Dalam kesepakatan nuklir 2015, Iran sepakat untuk membatasi tingkat pengayaan uranium pada level maksimal 3,67 persen untuk keperluan sipil, dengan stok uranium tidak melebihi 300 kilogram. Namun, laporan terbaru menunjukkan bahwa Iran telah meningkatkan tingkat pengayaan uranium melebihi batas tersebut.
Kekuatan Barat, termasuk AS, menuding Iran memiliki agenda tersembunyi untuk mengembangkan senjata nuklir dengan meningkatkan kemurnian uranium hingga mencapai tingkat fisil tinggi. Hal ini dinilai jauh melampaui kebutuhan energi sipil, yang menjadi alasan resmi program nuklir Iran. Namun, pemerintah Iran sejak awal menolak tuduhan tersebut dan menyatakan bahwa program nuklir mereka murni untuk tujuan energi.
Jika Tidak Mencapai Kesepakatan Nuklir
Pernyataan keras dari Trump ini semakin memperburuk ketegangan antara kedua negara. Ancaman pengeboman dan penerapan tarif sekunder membuat situasi semakin tidak menentu. Sejumlah pengamat politik internasional menilai bahwa pendekatan Trump dalam menangani isu nuklir Iran dapat memicu respons keras dari pihak Teheran.
Sementara itu, beberapa sekutu AS di Eropa menyarankan agar Washington lebih mengedepankan diplomasi daripada ancaman militer. Mereka menilai bahwa eskalasi ketegangan justru dapat menggagalkan upaya damai yang telah dirintis sebelumnya. Beberapa negara Eropa juga mengingatkan AS untuk mempertimbangkan dampak ekonomi global jika tarif sekunder diterapkan secara luas.
Di sisi lain, Iran juga menunjukkan sikap yang tidak goyah. Pemerintah Iran menegaskan bahwa tekanan dan ancaman tidak akan memaksa mereka untuk tunduk pada tuntutan AS. Bahkan, para pemimpin Iran menyatakan bahwa rakyat Iran telah terbiasa menghadapi sanksi dan ancaman dari Barat.
Para analis menyarankan agar kedua pihak menghindari tindakan provokatif yang dapat memperburuk konflik. Sebagai negara dengan kekuatan militer besar, baik AS maupun Iran memiliki potensi risiko jika konflik berkembang menjadi aksi militer terbuka. Diplomasi tetap dinilai sebagai jalan terbaik untuk mencapai solusi yang berkelanjutan.
Hingga saat ini, belum ada kepastian apakah ancaman Trump akan benar-benar direalisasikan. Namun, pemerintah AS tetap menegaskan bahwa mereka akan mengambil tindakan tegas jika Iran terus memperluas program nuklirnya tanpa persetujuan internasional.
Baca Juga : Proposal Gencatan Senjata Hamas Setujui Di Gaza Dari Mediator
Melalui ancaman yang disampaikan, Trump berusaha menekan Iran agar bersedia melakukan negosiasi baru yang lebih menguntungkan bagi pihak AS. Akan tetapi, respons keras dari Teheran menunjukkan bahwa pendekatan konfrontatif ini tidak serta-merta membuahkan hasil positif. Masyarakat internasional pun terus memantau perkembangan situasi ini dengan harapan adanya upaya diplomasi yang lebih konstruktif di masa mendatang.